Gempuran budaya popular tidak otomatis menjadikan Muda-mudi Lokra melupakan khasanah kekayaan dan kultur Bangsa, dengan caranya mereka hadir sebagai penyambung lidah sejarah.
"Hmm, apa mungkin ini pengamen, tapi kok kompak sekali dengan seragam rapih
bahkan sambil membawa payung besar,“ gumam saya sambil menurunkan laju kemudi
motor jepang akhir 90-an, ‘si dukun’ kesayangan. Gas motor lalu saya pelankan,
sambil melirik kanan-kiri bahu jalan guna memastikan alih-alih ada acara
hajatan kampung. Yang ada, lalu lintas Bandung padat merayap seperti biasa,
juga terik siang itu. Klakson saling memburu, namun sekelompok anak muda yang
sedang khidmat ‘menari’ diatas aspal tersebut memberi impresi personal hingga meninggalkan
pertanyaan, “Aneh, rasanya tak ada
kenduri atau sejenisnya. Siapa yah mereka? Rasanya terlalu mewah untuk
sekedar pertunjukan langsung di jalanan.”
Bukan tanpa alasan saya mengeneralisir aktifitas berkesenian di jalanan
sebagai kegiatan ekonomis. Contoh yang umum seperti mengamen adalah lumrah
sering kita lihat. Alternatif lainnya bisa dengan menjadi ‘manusia perak’, menyuguhkan
tarian jalanan dengan sekotak pengeras suara rakitan dan kaset lagu daerah yang
berputar setia dari side A-ke-B, atau mungkin topeng monyet yang beberapa waktu
lalu heboh dengan eksposur media asing hingga akhirnya Pemda DKI pimpinan duet
maut Jokowi-Ahok menertibkan jenis aktifitas seperti ini di tiap perempatan
kota. Tapi bagaimana dengan para pemuda tersebut? Rasa penasaran saya bertambah
ketika menemukan kembali sebuah aksi teatrikal sekelompok pemuda itu sedang mengapresiasi
perubahan kota pada sebuah pohon triwarna Bandung yang sedang diupayakan
menjadi kota yang layak huni ini.
“Ide pembuatan komunitas ini adalah berawal dari keprihatinan kami akan nasib
dari salah satu situs bersejarah di kota Bandung yang terbengkalai dan 28 tahun
tidak jelas nasib dan statusnya ini, yaitu situs sel No. 5 bekas kamar tahanan
Bung Karno di Banceuy. Berawal dari keprihatinan ini, kami memulai pergerakan
pada tanggal 6 Maret 2014 di Situs Banceuy dengan mengadakan sebuah pertunjukan
tari karawitan yang berangkat dari tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal,
kemudian ada pantomim dan pidato Indonesia Menggugat. Pertunjukan ini kami
lakukan selama 6 jam non-stop.” Ujar Gatot Gunawan, via surat elektronik, menjawab
gagasan membuat Lokra, Kelompok Anak Rakyat, sebuah kolektif seni yang sering mengelar pertunjukan seperti
diatas.
Lanjutnya, Gatot yang didapuk menjadi ketua di komunitas seni tersebut menyatakan
bahwasanya pergerakan melalui pendekatan media seni salah satunya dimaksudkan
untuk mempertanyakan sekaligus menagih janji Walikota Bandung, Ridwan Kamil,
yang berencana memugar situs ini dalam waktu 100 hari pemerintahannya. Sampai
hari ini tanggal 8 Oktober 2014, Gatot menganggap belum ada perubahan
signifikan terkait kelangsungan pelestarian cagar budaya dan sejarah tersebut
dan menilai janji Pemerintah Kota baru sebatas wacana desain.
“Kami sangat menyayangkan atas sikap beliau yang cenderung menomorduakan
situs bersejarah dan lebih fokus terhadap pembangunan taman-taman tematik.
Padahal dengan diperbaikinya kembali Situs Banceuy akan berdampak positif baik
ditinjau dari segi ilmu sejarah, ekonomi masyarakat sekitar, dan pendidikan
masyarakat kota Bandung pada khususnya serta menjadi aset atau kekayaan yang
tak ternilai harganya bagi kota Bandung. Sampai sekarang kami tetap mengawal
kondisi Situs Banceuy ini sampai nasib dan status situs ini jelas.”
Guna menjalankan roda organisasinya, Gatot dan rekan sejawat Kelompok
Anak Rakyat mengaku tidak menyigi pertimbangan prospek ekonomis dimana upaya
ekonomi kreatif sedang digaungkan pemerintah dan sedang hangat di sebagian
pegiat komunitas. “Kami hanya berfikir bagaimana masyarakat khususnya generasi
muda mau mengenal, mempelajari dan mempunyai ‘rasa memiliki’ akan situs-situs
bersejarah ditengah gencarnya budaya pop dan tradisi ‘pikun sejarah’ yang sedang
melanda generasi muda kita.”
Setiap membuat sebuah kegiatan, sampai saat ini mereka berupaya
berdikari, tidak pernah mengajukan proposal kepada siapapun. Prinsip utama
kolektif seni Lokra adalah gotong royong, caranya dengan menyisihkan keuangan masing-masing
anggota untuk setiap helaran yang digagas. “Dengan begitu kami mempunyai kebebasan
berfikir dalam melakukan sebuah proses kreatif dalam berkesenian tanpa adanya
tekanan atau pesanan dari siapapun. Zonder proposal, kegiatan kami akan tetap
hidup dan berjalan. Mengenai kreatif atau tidaknya pergerakan kami, biar
masyarakat yang menilai sendiri.”
Sampai saat ini kegiatan Lokra memang masih bergerak di wilayah kota Bandung.
Bagi mereka, wilayah urban seperti kota Bandung dinilai begitu banyak permasalahan
yang menggunung ditengah kehidupan masyarakatnya yang serba cepat dan hanya
berfikir mencari uang. Berbeda dengan kehidupan pada masyarakat di pedasaan
yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi yang berakar dari kearifan lokal
setempat.
“Kehidupan di kota seperti yang kami sebutkan diatas, lambat laun akan
melupakan masyarakat akan pentingnya nilai tradisi yang bersumber dari kearifan
lokal dan hilangnya idealisme di kalangan pemuda. Oleh karena itu kami
melakukan pendekatan terhadap generasi muda sebagai agen perubahan pada
kehidupan masyarakatnya. Kami tidak menutup kemungkinan untuk menggelar
kegiatan di wilayah pedesaan atau mengikuti kegiatan-kegiatan seni yang hidup
di wilayah tersebut, sebab kegiatan tersebut akan menjadi stimulus dan bekal
kami untuk menghidupkan kembali seni tradisi di wilayah urban.”
Muda-mudi Lokra punya falsafah tersendiri menghadapi gempuran budaya
popular yang mafhum menjangkit wilayah urban. Meski terbilang sebagai tunas
muda kolektif seni mereka meyakini prinsip ‘berkepribadian dalam bidang budaya’
sebagai filtrasi dan resistansi hegemoni budaya. “Kami akui bahwa budaya pop ini
tidak bisa dihindarkan dari kehidupan masyarakat, kunci kami sebagai bentuk
pelaksanaan prinsip ‘berkepribadian dalam bidang budaya’ adalah dengan menggali
kembali seni-seni tradisi baik dalam seni tari, karawitan, teater dan seni
rupa.
“Seni tradisi dan kearifan lokal mampu menyelaraskan manusia untuk
mencapai keseimbangan dalam kehidupan. Dengan kami mengadakan sebuah
pertunjukan di situs-situs bersejarah, makam tokoh-tokoh atau pahlawan maka [diharapkan]
akan ada sebuah spirit yang kami rasakan untuk selalu menghidupkan nilai-nilai
tradisi yang telah diwariskan oleh karuhun-leluhur kita.”
Teknisnya, dalam membuat sebuah pertunjukan di situs bersejarah, makam tokoh,
atau pahlawan mereka berkoordinasi terlebih dahulu dengan juru kunci atau ahli
waris dari tokoh yang akan diangkat. Pendekatan personal melalui juru kunci dan
ahli waris ini menjadi cara ampuh untuk menyampaikan program-program dan tujuan
komunitas Lokra. Hal ini akhirnya gayut bersambung dengan apresiasi positif
dari pihak yang diajak dialog tersebut, “Karena disamping kami pun melakukan
pendekatan terhadap masyarakat sekitar lokasi situs atau makam, juru kunci dan
ahli waris ini pun turut andil dalam menyampaikan kegiatan kami kepada
masyarakat sekitar, sehingga alhamdulillah kegiatan kami selalu mendapat
dukungan dari pihak ahli waris dan masyarakat sekitar.”
Selain itu, Lokra dan sejawat, giat menjalin komunikasi dengan awak
media dan sering menginformasikan setiap kegiatan yang akan dilaksanakan kepada
pewarta media cetak ataupun elektronik yang ada di kota Bandung. Produksi
informasi ini dinilai membantu menyampaikan pesan dan tujuan Lokra sehingga
bisa diapresiasi oleh masyarakat umum.
Di tengah kehidupan masyarakat, seni bukan hanya berfungsi sebagai media
profan atau demi hiburan semata. Lebih dari itu seni merupakan tempat untuk bernaung
bagi masyarakat yang ingin mencapai titik kedalaman. Seni yang bersumber dari
kearifan lokal mampu mengasah dan mengolah rasa setiap jiwa manusia. Pengolahan
rasa ini berdampak pada kepekaan atau intuisi manusia menjadi lebih tajam dalam
melihat kondisi kehidupan bermasyarakat, sehingga akhirnya seni menjadi begitu
penting bagi kehidupan masyarakat. Bagi Lokra sendiri, seniman dan seni adalah
senjata yang ampuh untuk menyampaikan pesan, dan pelurunya ada di para
apresiator yang peduli dan mendengar pesan tersebut.
Komentar
Posting Komentar