James dan Wacked duo cadas Grausig di Classic Rock Cafe Jakarta jelang 90an. Mayoritas pengunjung cafe yang berniat menghabiskan malam tribut Jim Morisson Night, diguncang dengan kebisingan brutal death metal ekstrem tinggi yang berakibat Grausig nyaris diusir dari helaran.
"Gue dikejar akibat album
itu."
Begitu singkatnya klaim sang
vokalis, Killjames, ketika menceritakan perjalanan Grausig sejak dirintis
Muhammad Yachya Sunjaya (popular dengan panggilan Wacked) era dekade 80 akhir
hingga akhirnya meluncurkan album mini Feed the flesh to the beast medio 90-an.
Bukan tanpa alasan para puritan mengejar pertanggungjawaban pesan yang ditulis
dari hasil pemikirannya di album tersebut.
Tembang Doomsday misalnya yang
merupakan purwarupa rintisan Wacked, didekonstruksi ulang dari segala lini.
Elemen auditif yang kental thrashmetal digubah Killjames bersama Denny Zahuri
(drum), Muhammad Faisal (bass), dan Ricky Wisisena (gitar) menjadi tembang
brutal. Ricky menyebutnya neoclassicalbrutaldeath pada salah satu media kala
itu. Dan tentunya sebagai vokalis terdepan yang dipercayakan Wacked kepada
basis-vokal Rotting God ini tidak disiasiakan olehnya, dari Doomsday yang
kontemplatif berubah menjadi penyesatan teologi versi baru berbalut kebisingan
pada torsi maksimal.
Via ilustrasi Baphomet di kulit
muka album tersebut, racun-racun seperti Curse of satan, Unholy Invocation,
Embalmed Crucifixion, dan Upon the Flesh of Nazarene menggenapi kesompralan
Grausig era itu. Mereka menjadikan rock tidak sekedar bergema. Lewat
distorsinya mereka menggugat. Hampir saja aksinya di malam persembahan bagi Jim
Morrison dibubarkan massa Poster Cafe yang mungkin mengharapkan sajian
pepuisian yang diapresiasi ulang untuk sang legenda sambil meneguk menu bar
bersama kekasih.
Perkenalan saya kali pertama
setelah mendengar Cradle of Filth bersambung demo live Doomsday dari formatur
Grausig era trio Wacked, Robin Hutagaol, dan Jorghi Soebagio mengudara di radio
yang digawangi Samuel Marudut Sitompul atau Arien Hendriani dari GMR 104.4FM..
Dan sepertinya menyaksikan penampilan mereka di Universitas Islam Nusantara
merupakan kali pertama dan sekali-kalinya kelompok musik cadas ibu kota
tersebut menjajal skena bawah tanah Bandung meski Ricky pernah mengisi slot
gitar dengan Jasad dan Wacked sendiri
mengisi sesi penampilan langsung bersama Didi Kurniadi (vokalis, pendiri
Mortir, dikenal sebagai Barrock) dari Dajjal cs.
Dekade 90 menghasilkan banyak
pionir untuk sejarah musik Indonesia. Lokus utamanya dihasilkan lewat kawah
candradimuka seperti Gor Saparua, TRL Bar, Laga Pub, Dago Tea House, dan Buqiet
Skatepark. Pada milenium baru, awal 2000, intensitas festival menurun,
disebabkan banyak faktor seperti biaya produksi yang meningkat, tatakelola
komunitas yang menjadi komoditas, maupun faktor internal alam skena sendiri
ketika bertemu fase seperti halnya industri mulai lesu dihantam produktifitas.
Dimulai 2005 geliat mulai muncul kembali dengan gig skala minor pada lokus yang
sudah ada bahkan menghasilkan simpul baru seperti di Antapani dan Elang dengan
pertunjukan studio. Hingga akhirnya skena menjelma menjadi festival udara
terbuka multi-juta, sebuah festival rock a la milenia.
Grausig sendiri besar di ranah
bawah tanah Jakarta, setelah mini album sompral tersebut mereka tancap gas
dengan Abandoned, forgotten, and rotting alone. Sayangnya ketika menuju album
ketiga bertitel Vision of Enslaved Upon my Lizard Side, album pamungkas trilogi
yang berisi delapan buah lagu ini tidak pernah digarap di studio rekaman ada
friksi internal James Andri Budiyanto dan
Stephanus Ino Prayudhi (bassis dan pembuat musik sepeninggal Muhammad
Faisal) vis-a-vis Ricky Wisisena dan Denny Zahuri. James dan Bobby hengkang,
Ricky dan Denny meneruskan Grausig dengan merilis album Tiga Dimensi.
Satu-satunya klip bertitel Demonstrasi mereka luncurkan dengan talenta Pory
dari Corporations of Bleeding dan Jill dari Stepforward sebagai penampil tamu
pada era ini.
***
"J, ini elo?"
"Maaf, lo sapa ya?"
Pria plontos penggemar Frank Sinatra tersebut menjawab ragu dan tampak samar
dengan persona yang menyapanya.
"Ini gue!Bobby! Basis
elo!"
Pertemuan di jalanan ketika
menunggu bis ibu kota menamparnya. Mereka satu-sama lain ragu sampai diantara
mereka memutuskan menyapa. Perubahan fisik dan kabar yang terputus selama
hampir satu dekade mengaburkan duo pembuat onar dari Grausig ini. Mirip dengan
Syd Barret yang nyaris tidak dikenali lagi ketika bertemu rekan sejawatnya.
Baik Bobby dan Syd juga meninggal setelah pertemuan singkat itu.
Sebelumnya di 2005 dan 2008
muncul isu reuni yang tidak pernah terealisasi. Lama tak terdengar akhirnya
formasi klasik kembali ke publik kali pertama setelah sebelas tahun vakum.
Pertemuan mereka bukan untuk dansa-dansi dengan geliat skena yang bergairah menyambut
produktifitas ekonomi dari dunia yang selama ini mereka geluti akan tetapi
sebuah perjumpaan untuk menghormati sahabatnya Muhammad Faisal yang meninggal.
2013, In The Name Of All Who Suffered And Died meluncur dengan tambahan talenta
Budi Ridwin Nasution pada gitar mengantikan Ricky Wisisena.
Kini, sejak 9 Maret 2016, mereka
hadir kembali dengan tenaga penuh. Ada sembilan track yang ditawarkan ;
rekomposisi bass Prelude One karya Bach yang digubah Ewin Naiborhu dengan apik
seperti permainannya pada Teokrasi Bisu, single Gods Replicated dan Sampah
Moralitas Dimensi tepat ditujukan bagi polisi moral, Doomsday yang diinjeksi
dengan tenaga Denny (this supposedly what we are expected, dude! Where have you
been), pada Di Belakang Garis Musuh atau Infeksi Kanibal Utopia sang gitaris
Ivan memainkan tekniknya.
Bagi saya hadirnya mereka tak
sekedar nostalgi, Grausig kembali menunjukan spirit yang musti diapresiasi
setelah silang generasi mereka mampu membaca tanda perubahan skena. Saya harus
mengamini Wendi Putranto jika di album ini mereka telah kembali. Andai saja
Jessica Wongso meracik kopi bersianida dan meneguknya sendiri sambil
mendengarkan album ini maka kematian akan menjadi sempurna. Ah, juga tepat
rasanya kopi Jessica itu buat kekasihmu, sayang!
"I will lead you to the promised land
Where the flesh no longer in boundaries
Suffering for the unholy ghost, as the gods story is put to an end
bow down to lord satan (cause lord is piece of shit)
say your repent to satan (for hell sake kill your God)."
- Doomsday, as written
by Killjames, Feed the flesh to the beast, 1997.
_________
Foto: Grausig/Istimewa
For instance, low-risk offers like free spins, no deposit offers and low wagering offers perfect for|are excellent for} new gamers who're dipping a toe into the waters of online on line casino gaming. Deals with larger wagering necessities, on the other hand|however|then again}, are higher suited to experienced gamers. Sign up at a trusted playing bet365 website, and enhance your funds with our record of online on line casino bonus codes above. Remember to read through the phrases of use and comply with the principles.
BalasHapus