Assalamualaikum, begitu sapa para jamaah muslim ketika
bertemu rekan satu imannya. Pesan
singkat tersebut mengandung makna yang simplistis namun dalam. Sebuah pesan
untuk mendoakan semoga dalam yang mengucapkan dan mendapat ucapan salam berada
dalam keselamatan dan lindungan Yang Maha Kuasa.
Hal
tersebut mengandung makna yang kurang lebih sama dengan sapaan khas muslim
tersebut, yaitu, sebuah kata 'om'. Kata ini begitu populer akhir-akhir ini.
Sering kali kita mendapati di layar televisi nasional para anggota dewan
mengucapkan salam Om Swastyastu dalam sidang resmi tersebut.
Secara
gramatikal kalimat Om Syastyastu berasal dari bahasa lelulur, sansakerta, yang
terdiri dari kesatuan tiga kata. Om, Swasti, dan Astu. Secara harfiah Om adalah
kata sakral tertua dalam agama Hindu sebagai simbolisasi seruan kepada Sang
Maha Pencipta sebagai wujud doa atau puja-puji. Kata ini, Om, memilki makna fungsional untuk mencipta,
memelihara, dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di dunia ini. Om sebagai
representasi dari keilahian.
Lalu
setelah Om dilanjut kata Swasti, yang secara harfiah berarti selamat, bahagia,
atau sejahtera. Perkembangan lanjutan menunjukkan bahwa dari kata Swasti inilah
istilah Swastika mengemuka sebagai perwakilan simbol agama Hindu secara
general. Ikonisasi kata Swasti menjadikannya Swastika sebagai simbol dari
kebahagiaan dan keselamatan yang langgeng sebagai wujud kredo mengimani Hindu.
Kata
terakhir Astu sebagai pamungkas kesatuan Swastyastu itu berarti semoga.
Demikian secara general Om Swastyastu dapat diartikan dengan kalimat Ya Tuhan semoga kami selamat. Sama halnya dengan pengucapan salam di
kalangan muslim, salam khas dari Hindu ini bisa dipraktekkan kapan dan dimana
saja terlepas di tempat beribadah pada umumnya.
Era memang
sudah bergulir, ucapan salam yang tadinya dipakai hanya pada kalangan satu
kepercayaan saja kini berkembang menjadi ucapan salam milik bersama. Hal
tersebut mengandung sisi positif, dimana pada era sebelumnya ucapan salam
tersebut terkesan hanya menjadi milik tok kelompok kepercayaannya tertentu
saja.
Praktik
berbahasa pada zamannya sama dengan praktik berbudaya pada masyarakat keturunan
tioghoa asli Indonesia. Semisal praktik seperti barongsai yang selama era orde
baru hanya dilakukan pada kesempatan terbatas saja karena kepentingan politik
dizaman tersebut guna mengurangi pengaruh budaya rival politik negara China
yang pro komunis. Om, sebagaimana assalamualaikum, kini menjadi universal.
Apabila
ditarik garis merahnya antara Assalamualaikum dan Om Swastyastu maka kita akan
mengerti makna ucapan salam tersebut yang berlaku universal. Hanya perbedaan
latar belakang budaya dalam bentuk kemasan dan praktik berbahasa saja (Praktik
ini disebut juga parole atau penggunaan bahasa pada prakteknya yang
dikenal dalam term kajian linguistik Sausurean).
Semoga
keselamatan menyertai kita semua.
Komentar
Posting Komentar