Takkan terperikan betapa luasnya hati sang kekasih yang harus merelakan sang dambaan pergi dan berjuang 'di jalan pilihan lain' ketika kata 'kita' pun bukanlah pilihan diantara segitiga-hati. Kalaulah saya boleh kategorikan ini adalah realisme roman sejarah yang dapat menyentuh siapa saja yang telah menyelami uraian tuturan sang empunya lelakon. Dengan gaya sudut pandang cerita kemanusiaan biasa dari individu yang dikemudian hari menjadi poros sejarah nusantara.
Disini kita akan membaca babak perjuangan antara buku, pesta, cinta, dan gemuruh revolusi-mendebu Sukarno muda dengan Inggit Garnasih yang dikenal sebagai mojang-bersinar dizamannya. Sangat subtil, menusuk relung-relung rasio-hati dan literatur pencerah tentang peranan kebesaran jiwa kaum wanita Indonesia. Sukarno tak bisa melawan kodrati takdir alam, begitu juga Inggit yang sampai akhir nyawa tak jua dapat menjawab nasib yang diberikan alam. Sukarno-Inggit saling mencinta namun pilihan tetap pada maqamnya.
Dengan usia yang terpaut belasan tahun, pada awalnya Sang Putra Fajar berdalih membutuhkan generasi penerus dari darah dan ideologinya langsung. Ini pilihan rasional yang ditawarkan kepada Inggit. Wanita mana yang sanggup untuk berbagi kasih dengan orang yang dibangun, dan dicintainya sedari titik nol pemuda resah hingga menjadi Singa Asia dan sanggup mengetarkan kekuatan-kekuatan Adi Kuasa beserta sekutu. Dalam sejarah politik dunia nama sukarno adalah perlawanan tanpa tedeng-aling-aling terhadap penghisapan manusia oleh manusia.
Di era perang dunia dan perang dingin inilah Inggit sanggup memberi roh dari pemuda itu menjadi charming gentlemen. Dan ini menjadi simalakama terhadap jalan pasangan tersebut. Dengan kharisma dan intelektualitasnya Sukarno tak ayal adalah idaman kaum hawa. Dengan ketegaran, Inggit sanggup melawan dominasi poligami-patriarki ditengah situasi dan kondisi budaya masyarakat waktu itu yang konformistis terhadap hal sensitif seperti ini. Tak ada pilihan absolut lainnya meski Sukarno bertekuk untuk meminta izin dan tetap menjadikannya Ibu Negara Utama. Namun, bukan itu yang Inggit kehendaki meski alasan Sukarno sangat rasional ditengah gempuran revolusi dan gejolak kebudayaan.
Akhir cerita yang getir antara Sukarno-Inggit yang tak terperikan setelah puluhan tahun bersama melewati badai revolusi dan berpisah digerbang kemerdekaan, sesuatu yang keduanya perjuangkan hingga akhir hayat.
Banyak yang dapat saya petik dari buku, pesta, dan cinta, diantara riuh-rendah bahtera cerita Sukarno-Inggit.
"Pami aya waktos ngabukbak titimangsa mangkukna yen ditangtayungan widi Pangeran kanggo salawasna paduaan dina bahtera tur dipasihan berkah bibit kahirupan tangtos jalan carita hurip janten benten."
Komentar
Posting Komentar