|
Foto : blog budaya pop. |
Enny Arrow! Ya, bagi Anda yang suka membaca dan menikmati kultur literasi pasti mengenal satu nama ini. Di skena literasi namanya di cap sebagai novel haram jadah karena isinya merangsang pembaca untuk menjadi prokreator-aktif. Narasi dituturkan dengan menggunakan gaya bahasa keseharian. Plot umumnya menceritakan kisah percintaan yang mendayu dengan akhir ataupun badan cerita yang berbumbu perselingkuhan serta percintaan nan pedas. Ya, sangat panas.
Sebagai bumbu penyedap Anda akan disuguhkan satu-dua lembar seronok hitam-putih yang secara ekplisit mengabadikan visual kuda-kudaan insan berlawanan jenis. Setelah melewati halaman demikian biasanya pembaca akan terjerembab dan tak mau melanjutkan kegiatan membaca. Bisa ditebak, tangan yang semula konsen-perlahan membuka per halaman, kini akan dengan rusuh gerasakan mencari sensasi serupa dari visualisasi berahi yang menohok. Mengolok-olok iman.
Tak ada bahasa sastrawi tinggi nan bersayap untuk mengambarkan sebuah kisah. Hiperbola ditautkan guna memancing imaji berahi pembaca semakin membuncah. Terlalu jomplang apabila kita menyandingkannya dengan Siti Nurbaya - Marah Rusli yang menggunakan bahasa sastra, dengan plot khas angkatan 45 yang romantis dan tema yang biasanya berisi konflik budaya, politik, dan sarat pesan moral. Ada nilai lebih ketika sidang pembaca selesai menamatkan halaman terakhir seperti buah karya buyut Harry Rusli, seniman Indonesia yang di cap bengal kerena teguh akan pendiriannya dalam berkarya dan menyuarakan hak-hak kaum marjinal.
Enny, tak bisa sembarangan kita dapatkan di toko buku terkemuka, hal ini mengingat konten yang menjadi daya jual stensilan seperti Ennie dapat menyesatkan sidang pembaca dalam pegumulan berahi. Dicetak dengan kertas bubur yang buram, Ennie, pada dekade 1980 s/d 90-an biasanya dijual secara bawah tanah di lapak-lapak pinggiran. Kehadiran varian karya tulis seperti ini seakan mengambarkan fenomena seks yang dianggap mayoritas sebagai hal tabu namun disisi lain tetap menjadi konsumsi-aktif publik dan pecintanya sendiri.
Jikalau era 90-an tersebut penonton sinema lokal mengenal nama Eva Arnaz, Kiki Fatmala, atau Nurul Arifin. Nah, bagi kutu buku Ennie Arrow adalah bacaan favorit tersendiri. Baik hanya sebagai pelepas penat setelah menjejal teks formal akademik, ataupun sebagai penikmat adiktif teks-teks pinggiran yang seronok. Semakin dibaca, semakin dahsyat pompa adrenalin mengedor-gedor endorfin serta mengocok gairah bak roallercoaster.
Hingga menjelang ajal dipintu kedatangan media baru seperti internet, identitas tokoh sang empu perangkai kata Enny Arrow masih menjadi legenda urban dan tetap menjadi sosok anonim misterius [info pengarang di Goodreads mengaitkan Enny Arrow pada sebuah nama Enny Sukaesih Probowidagdo]. Epigonnya silih datang berganti. Almarhum tujuhbelastahun berbasis dot com misalnya yang harus tewas dirazia polisi siber bersama bandar-bandar togel dalam ragam pranala laman jagat maya.
Jelasnya, novel penoda moral berseri seperti Enny Arrow ini tak layak disenderkan pada rak buku kesayangan Anda dan bersanding dengan yang lainnya. Bukannya mengapa, bijimane jikalo tetangga ente ternyata laskar nasbung 2D bersilaturahmi bersama handai taulan ke tempat ente, cuk? Nah. Berabe deh. Ente bakalan difatwah harom sambil kena fentungan. Faham ente, onta?! Simfan rafat-rafat dibawah lemari! Hahaha.
Komentar
Posting Komentar