Jilbab adalah salah satu produk budaya dan sangat lekat sekali
dengan praktik peribadatan agama mayoritas masyarakat Indonesia, Islam. Sebagai
forma kepatuhan dalam menjalankan ibadah peranan jilbab dipandang sangat
krusial. Tapi, tunggu dulu, saya tidak akan berbicara mengenai jilbab, Islam,
dan koherensi keduanya baik dalam perspektif religi atau dalam koridor budaya.
Yang menarik dari jilbab pada kesempatan hari ini adalah mengenai Jilbab Hitam.
Jilbab Hitam pada hari
ini muncul sebagai berita panas beragam media nasional ataupun daerah setelah
akun anonim tanpa tuan tersebut meluncur dalam kanal Jurnalisme Warga di Kompas
bernama Kompasiana. Bagi pegiat dunia tulis menulis nama satu ini pasti sangat
familiar dan dikenal sebagai salah satu terobosan popular bagi media arus utama
untuk melibatkan audience medianya supaya lebih bebas-aktif dan intim. Juga,
sebagai kanal dialog bagi sesamanya untuk berapresiasi.
Dipandang dalam cakupan yang agak melebar, Jurnalisme Warga
dapat juga dipandang sebagai bentuk partisipasi masyarakat untuk turut
berpartisipasi menyehatkan demokratisasi media dalam peranannya mengontrol
media dengan tendensi partisan, kapitalistik, tidak berimbang, dan lain
sebagainya.
Hal ini dapat dilakukan dengan membuat tulisan tandingan, dapat
berupa opini atau tulisan dengan kadar keseriusan seperti karya jurnalistik
dengan metode ketat seperti verifikasi, cover both side, dan etika plus praktik
elemen jurnalistik yang lebih khusus dalam menanggapi isu aktuil. Opini atau
tulisan yang menarik di Kompasiana ini biasanya mendapat komentar apresiatif,
meski tak dapat dijamin terhindar hal sebaliknya.
Gaya penulisan dalam kanal Kompasiana lebih mencair tidak
seperti kepala berita suatu peristiwa dengan formula 5W dan 1H yang rigid
[bahkan kerap dipandang kering bagi para penulis berita liputan fitur khusus].
Kata ganti orang pertama ‘Saya’ yang biasanya menceritakan sudut atau perpektif
orang pertama dalam sebuah tulisan akan mengurangi jarak antara cerita dan
realitas dengan subjek yang terlibat.
Tulisan kanal ini mayoritas adalah sebuah opini yang kadar
subjektifitasnya dominan. Namun meski begitu, karya tulis anggota Kompasiana
tetap menarik untuk disimak, alih-alih sebagai penawar berita utama dengan
hiruk pikuk politik yang menjemukan. Coba cek tulisan kritis-sinis-ceriwisnya
akun Mad Mizan yang mengelitik.
Bagi Anda yang baru pertama kali mendengar nama Kompasiana
sebagai salah satu kanal Jurnalisme Warga dalam media arus utama, Anda dapat
mencoba langsung ke TKP [TKP biasanya dipakai dalam konteks liputan kriminal
tapi dalam perkembangannya TKP dipopularkan oleh anggota situs seperti Kaskus
untuk merujuk kepada kegiatan mengecek atau memverifikasi sebuah topik langsung
ke sumbernya].
Atau apabila Anda pembaca setia Tempo, media ini menyediakan
kanal bernama Blog dengan motto ‘Enak diblog dan perlu’, namun keanggotaan di
Blog Tempo yang kalau saya dapat kategorikan sebagai salah satu varian
Jurnalisme Warga tersebut tidak seterbuka Kompas yang dapat dengan seketika
dapat menjadi anggota aktifnya dengan postingan di akun yang telah terdaftar.
Di Blog Tempo, mekanismenya, yah, selektif. Dua media ini menyiarkan
‘suara-suara’ liyan yang dapat membuat kita tertawa sampai mual atau serius
sekalipun dalam kanal partisipasi warganya.
Ok, kita kembali ke laptop.
Beberapa paragraf diatas adalah apresiasi sekaligus kekaguman
saya sebenarnya tentang kanal-kanal alternatif tersebut dalam media arus utama
yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Yah, buktinya, setelah akun Mad Mizan yang sempat
memporakporandakan jagat kepenulisan di kanal Kompasiana kini hadir sesosok
anonim bernama Jilbab Hitam. Kesan saya pertama, “Wuih, namanya cukup
misterius. Warna hitam selalu berasosiasi kelam, pekat, tertutup, murung, ini
apabila ditafsir semaugue saja tentang makna sebuah warna dapat berarti berita
kelam dari si empunya jilbab. Bukan berita baik nih kayaknya, hehehe.”
Si pembawa berita tersebut menulis judul tegas : Tempo dan
KataData memeras Bank Mandiri dalam kasus SKK Migas.
Saya sendiri tidak dapat membaca tulisan akun yang mengaku eks
wartawan Tempo tersebut karena telah dihapus oleh pihak pengelola Kompasiana
karena dianggap provokatif, “…dicabut karena dianggap memojokkan seseorang atau
instansi.” Saya justru mendapatkan arsip pada tautan forum Kaskus dengan ID
Wheru yang mengungahnya ke dalam tread sebagai bahan diskusi sesama Kaskusers
[Kaskus salah satu situs yang berdiri akhir 90-an dan bertengger hingga
sekarang merupakan startup social media versi lokal untuk berinteraksi satu
sama lainnnya tentang satu hal baik itu gosip, politik, jual beli, atau topik
lainnya. Hingga saya menulis blog ini sudah lebih dari 13 ribu views untuk
thread berkaitan dengan Jilbab Hitam].
Reaksi penghapusan ini pun pro dan kontra, Andreas Harsono
berkicau ketidak setujuannya dengan praktik tersebut, “Saya tak setuju Kompas
hapus #JilbabHitam dgn alasan tanpa itikad baik. Ia akan jadi preseden sensor.”
Tanggapan konyolpun hadir dijagat media kicauan Twitter, akun
@agm_agm_ menjawab ini atas respon kicauan komunikannya, “Ganti nama jadi
satria biji hitam RT @pkspiyungan Jadi kabar satria jilbab hitam gmn?”
Tentunya hal yang
serius datang dari pihak-pihak yang disebutkan dalam materi tulisan Jilbab
hitam. BHM, Bambang Harymurti, CEO/Dirut PT Tempo Inti Media Tbk turut
menanggapi. Pemred Majalah Tempo, Arif Zulkifli, mengatakan, “Proposal
dikatakan ada di direksi Mandiri selama dua minggu, padahal Rudi ditangkap
Komisi Pemberantasan Korupsi pada 13 Agustus 2013 dan majalah Tempo dengan sampul Rudi terbit pada 19 Agustus (bukan 18 Agustus
seperti disebut Jilbab Hitam).” Lebih lanjut Azul, sapaanya, menambahkan
apabila benar proposal tersebut sudah dua minggu dan Rudi terlambat ditangkap
KPK dapat diartikan superioritas Tempo terhadap superbody penegak hukum seperti
KPK.
Coba ketik di mesin pencari paman Google atau media kicau
twitter, akan banyak sekali versi reaksi atas tulisan tersebut. Dan ini wajar.
Tulisan dalam ranah media siber tanpa identitas dan anonim ibarat surat kaleng yang
tak dapat dimintai pertanggungjawaban. Ini yang dijadikan alasan mengapa
tulisan tersebut langsung dihapus oleh pengelola media kompasiana.
Menurut saya akan lebih menarik apabila tulisan yang tendensius
hanya berupa opini tersebut dapat dijadikan telaah dan kemudian dibuatkan
laporan jurnalistik dengan data fakta dan sumber yang valid. Sumber anonim itu
sah, tapi data dan fakta mutlak tidak boleh gaib dalam kaidah, praktik, serta
produk karya jurnalistik. Kalau akun Jilbab Hitam itu dapat sabar dengan proses
verifikasi dan laporannya bisa jadi ia adalah peniup peluit selanjutnya setelah
Metta Dharmasaputra dengan ‘Saksi Kunci’-nya.
Apabila dihadapkan dengan pembuktian legal dan fair maka publik
media nasional dapat menilai tentang wujud sesungguhnya media dibalik berita
tanpa sas-sus, gibah, dan gosip recehan. Kini masyarakat konsumer media lebih
dinamis dan aktif, pembaca lebih kritis dan punya filter mandiri untuk tak
sekedar digiring propaganda citra media dan berani mengungkapkan versinya walau
dalam balutan 140 karakter. Tentunya ini menyehatkan proses demokratisasi
kebebasan berpendapat.
Pun, pertarungan akan lebih seru tentunya jika si empunya akun
Jilbab Hitam dapat menampakkan jati dirinya dengan Hak Jawab disertai bukti
jurnalistik.
Rona media nasional sejak jaman Indonesia Raya – Mochtar Lubis,
bredelan Tempo pertengahan 90 bersama Detik dan Editor, hingga era Tomy Winata
dan kini Jilbab Hitam adalah warna perjalanan pers Indonesia. Penuh deru.
Komentar
Posting Komentar