Peta rivalitas industri
telekomunikasi era milenium sangatlah mengemuka dan kentara. Ragam merek dan
tipe pun timbul-tenggelam. Tengok konsumsi Apple
Indonesia, RIM-BlackBerry, atau Samsung dengan Android-nya. Terdapat banyak
indikasi yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya, selain cita rasa dan
tuntutan kesempurnaan dari konsumer, juga setiap pabrikasi industri
telekomunikasi tersebut dengan sendirinya saling belomba meningkatkan kualitas
jasa layanan dan produk yang ditawarkan. Dalam persaingan perusahaan yang
positif, semakin baik pola penawaran output jasa-produk dari masing-masing
pihak, maka pilihan dan oportunitas kepercayaan dari pelanggan akan semakin besar.
Memang, tak dapat
dielakkan, ketika bersaing dengan raksasa seperti Research In Motion, Samsung,
atau peta konsumsi Apple Indonesia akan ada pula perusahaan industri
telekomunikasi yang harus gulung tikar ditengah jalan. Ekses negatif industri
ini dapat disebabkan baik karena tak mampu secara finansial, manajemen
perusahaan yang buruk, ataupun peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang
tidak diperhatikan, dan beragam faktor x lainnya.
Hal yang patut diingat
bagi penyelia industri telekomunikasi baik itu Apple Indonesia atau pun
merek-merek yang terdapat dalam peta persaingan domestik adalah motto bahwa
semakin baik dan unggul output yang dikeluarkan setiap perusahaan tersebut maka
otomatis akan berimbas pada tingkat reputabilitas dan kepercayaan konsumen, dan
walhasil akan meningkatkan pendapatan sepadan. Bisa jadi hal seperti ini yang
luput dari radar perusahaan yang rata-rata karbitan dan hanya mengejar profit
oriented semata tersebut lantas mengabaikan faktor peningkatan internal.
Walhasil kolaps.
Dalam rumusan ekonomi,
begitu ada proses supply maka akan ada demand atau permintaan dari pasar yang
berjalan sesuai rima dan siklusnya. Disatu sisi cerita ada produsen dengan
kualitas produk dan jasa bermutu, maka akan hadir pula berita bahwa konsumen mendambakan
kenyamanan dan pelayanan paska jual. Bagi perusahaan telekomunkasi yang cerdik,
pelayanan consumer-friendly semisal Apple Indonesia yang berkala akan
memberikan benefit lebih bagi citra dan kepercayaan publik di masa jauh
kedepan. Dan ini merupakan solusi sebagai bentuk kepedulian dan bentuk jawab
sosial sebagai lembaga ekonomi terhadap konsumen setianya.
Sama halnya bagi
pelanggan yang cermat dalam menerapkan pola konsumsi, dalam perkembangannya,
bagi mereka tidak bermasalah apabila mengeluarkan kocek lebih dari pasaran
asalkan mutu dan kualitas produk-layanan seimbang dan masih bisa diakses,
kapanpun, dimanapun. Sehingga, tidak akan ada bentuk kekhawatiran dengan
pelayanan produk paska pembelian ketika sedang berada di ruang waktu yang
berlainan. Maka tak heran merek besar seperti Nokia, Samsung, Blackberry, atau Apple
Indonesia akan semakin giat dan bertengger meningkatkan performa layanan
jasa dan produk mereka di pentas pasar industri telekomunikasi berbagai kota
besar tanah air.
Demografi psikologis
konsumer
Selain ekses industri diatas, terdapat pola
perubahan demografi atas pola konsumsi produk-produk teknologi telekomunikasi
semacam Apple Indonesia, Samsung, Nokia, BlackBerry atau merek hibrida produk
telekomunikasi lainnya yang mengkombinasikan perpaduan antara perangkat keras
dan lunak yang berasal dari genuine lokal atau pun kualitas import. Pada tahap
awal identifikasinya, produk telekomunikasi hadir di ranah konsumen nasional
semenjak era 90-an. Di tahun awal tersebut persaingan pasar produk telekomunikasi memang belum
sepesat sekarang. Hanya terdapat
hitungan jari beberapa merek raksasa yang merajai pasar lokal, termasuk dunia.
Pasar yang berkembang pada tahapan tersebut
pun mempunyai segmentasi pembeli tersendiri. Mayoritas konsumen era awal ini
adalah mereka yang secara ekonomi berkecukupan, pola konsumsi diatas rata-rata,
dan mempunyai mobilitas komunikasi yang intens juga padat dalam interaksi
lingkungan sosialnya. Secara simbolik periode
awal ini identifikasi konsumsi produk telekomunikasi yang berkembang di
masyarakat , terutama kaum urban, adalah bentuk lain dari prestise, status
sosial, representasi dari wujud materialitas.
Tilikan kacamata budaya konsumsi berdasar
kacamata psikologis massa tersebut bisa
dikatakan sindrom gegar budaya. Mungkin karena merasa memiliki produk
yang notabene mahal, maka individu tersebut merasa memiliki lebih ketimbang
massa pembeli pada umumnya. Apalagi jikalau produk Apple Indonesia sudah hadir
ditengah tahun awal konsumsi produk telekomunikasi nasional bersama Ericsson
yang kini diakuisisi Perusahaan Sony, dan Nokia. Merek dan tipe tertentu pada
masa tersebut adalah identitas keberpunyaan diri.
Euforia massa akan kebutuhan konsumsi produk
teknologi juga seiring pesatnya perkembangan industri dan pasar menyebabkan
orientasi berubah kini. Yang pada awalnya dikonsumsi sebagai simbol
materialitas, meski pada faktanya sesekali difungsikan regular, kini mayoritas
orientasi konsumsi produk teknologi tersebut berjalan pada koridornya
benar-benar sebagai produk telekomunikasi untuk komunikasi. Representasi
simbolik sedikit dikesampingkan, dan peran produk teknologi sebagai utilitas
komunikasi condong dominan kini [meski untuk urusan ini dikalangan konsumer
produkti usia sekolah hanya digunakan ber-BlackBerry-Broadcast-Messenger saja,
dengan konten gosip semata].
Alternatif
layanan Apple Indonesia
Tidak hanya itu, dari ekses industri dan
perubahan paradigma konsumer teknologi, fitur layanan yang ditawarkan setiap
penyelia produk telekomunikasi kini sangat beragam. Dari paket streaming data,
internet murah, kuota data, aplikasi perangkat lunak, permainan digital, bahkan
bertukar short message service pun
bias gratis kini. Era komunikasi klasik yang ditawarkan surat via Pak Pos
ketika menunggu pekabaran dari handai taulan, keluarga, atau sang kekasih dalam
singkat sudah berubah moda seratus delapan puluh derajat kali dua. Sangat
berbeda jauh. Meski disatu sisi dengan beragam kemudahan yang ditawarkan
peradaban pengetahuan dan teknologi manusia dalam berkomunikasi tersebut ada
peran [yang juga psikologis] yang belum
bisa digantikan, bukankah Anda akan lebih tersentuh ketika menerima
sepucuk surat dari Ayah dan Bunda Anda tercinta diujung kota? Atau sehelai
ucapan ulang tahun beserta boneka Panda, mungkin?
Dari fitur layanan yang diberikan pabrikan
telekomunikasi kontemporer. Generasi Apple Indonesia sekarang mungkin sangat
mengenal baik merek dagang satu ini. Dengan logo berbentuk buah apel dan
sedikit sisi kulit yang tergigit. Yup, betul, nama brand elektronik masa kini
yang didirikan sekaligus dibesarkan oleh si brilian Steve Jobs tersebut
terinspirasi dari buah apel. Buah ini juga menjadi inspirasi dan mewujud
perusahaan rekaman bernama Apple Records, salah satu pemegang sah hak lisensi
atas semua karya video dan film The Beatles sejak didirikan 1968 oleh manajemen
artis pionir rock and roll dunia paska Elvis Presley tersebut.
Dunia , termasuk penggemar antusias Apple
Indonesia, tahu betul dengan keunggulan kualitas fitur yang ditawarkan merek
satu ini. Dobrakan di tahun 2000-an awal perusahaan ini hadir meramaikan konstalasi
perdagangan industri musik dengan layanan penjualan konten digital. Disamping
core bisnisnya adalah penyelia produk teknologi. Dengan metode mutahir sistem
penjualan terbaru yang ditawarkan setiap orang bisa menjadi musisi sekaligus
produser rekaman mandiri. Otomatis kesempatan memasarkan karya dengan sistem
bagi-hasil antara para musisi yang bekerja sama dengan korporasi Apple tersebut
terbuka bagi siapa saja, termasuk penggemar Apple Indonesia.
Bagi para penggemar Apple
Indonesia, terutama musisi indie ataupun yang sudah mapan dan bernaung dalam
sebuah perusahaan rekaman kehadiran mekanisme penjualan yang punya efek profit
sekaligus benefit berkesinambungan seperti ini mematahkan cara direct selling
konvensional dengan bobot operasional dan produksi lebih. Sistem kerjasama yang ditawarkan pun bersifat
terbuka, open management, dan fair share. Semisal dalam wilayah hitungan
bagi-hasil. Setiap musisi yang menjalin kerjasama dengan perusahaan Apple, baik
itu Apple Indonesia maupun dunia, akan otomatis mendapatkan report selling
periodik, terukur, dan dapat
dipertangungjawabkan.
Uniknya, setiap musisi atau perusahaan rekaman
yang telah menjalin rekanan kerjasama dengan Apple beserta korporasinya
tersebut tidak harus dipusingkan dengan tengat karya album penuh. Cukup hanya
dengan satu buah single karya lagu, baik musisi maupun perusahaan yang mengatur
artisnya dan telah menjadi bagian dari keluarga-ekonomi Apple akan dilayani
secara professional. Hebatnya, di divisi publisitas, promo akan diberlakukan
sama dan disebarkuaskan kepada seluruh puluhan retail perusahaan distributor
rekanan Apple.
Sisi lain benefitnya adalah bagi penggemar
Apple Indonesia sendiri yang sudah memiliki teknologi penyimpanan rekam data
digital musik seperti iPod. Terlebih apabila konsumen aktif Apple Indonesia
tersebut adalah penggemar musisi manca negara, dengan sekali menuliskan kata
kunci pada pointer search engine dalam perangkat keras Apple tersebut,
penggemar Apple Indonesia akan
disuguhkan ribuan sampai jutaan karya musisi dari yang terfavorit sampai
pendatang baru rekomendasi yang sangat sayang apabila dilewatkan begitu saja.
Kompensasi yang ditawarkan pun tidak terlalu
mengecewakan sebagai obat buluh perindu kecintaan akan biduan idola. Dengan
rata-rata sekira satu dollar Amerika kurang satu sen, para konsumer Apple
Indonesia sudah dapat mengunduh karya musisi pujaan tersebut.
So, dengan beragam
persaingan ketat industri telekomunikasi konsumer dituntut bijak dalam putaran
rona zaman.
Komentar
Posting Komentar