Tak ada asap apabila tak ada api. Bisa jadi ini aksioma atau
kalimat yang terbukti dengan sendirinya. Tapi bukan tentang gramatika dan
falsafati saja yang akan kita bicarakan disini. Mari kita bahas tentang
kebudayaan popular yang selalu menjangkiti kawula muda di berbagai belahan
geografis, seperti dunia musik misalnya. Dunia yang tidak akan pernah berhenti
bermetamorfosis hingga akhir zaman, mengalami perulangan dengan makmum baru.
Salah satu alasan dari bentuk ekspresi berbudaya ini lahir seiring
dengan kebutuhan manusia untuk mengejewantahkan pemikiran, hasrat, karsa, dan
rasa tentang keindahan, bentuk pemujaan terhadap alam dan leluhur, hingga bentuk protes sosial
pada pekabaran harfiah termutahir dalam menanggapi realitas sosial. Menyerapi
dan menjalani ritus varian budaya seperti seorang seniman meyakini suara
kebenaran yang bersemayam melalui karya prosa dan senandung nada dalam dunia
musik bisa juga bentuk lain dari proses mensyukuri dan menafsir kehidupan
sekeliling seperti layaknya manusia pra-peradaban berbicara mengenai alam dan
keilahiannya dalam semasa babad dan serat.
Bersyukurlah, indera sensasi manusia merupakan salah satu medium
yang terberi sebagai anugerah. Dengan beragam fungsi organ tersebut manusia
diberikan kelebihan ketimbang kreasi pencipta lainnya. Bisa mendengar, melihat,
berjalan, memegang dengan leluasa, berbicara, dan yang paling unggul
diantaranya adalah proses berpkir dan mengapresiasi stimulus serta berkelindan
bertahan menanggapi perubahan ruang zaman dari sekitar. Menyerukan inti pesan
alam dan makna warisan bagi generasi lekang waktu.
Artefak-artefak peninggalan peradaban manusia sebagai bentuk
lintas persilangan waktu tersebut bisa dilihat dari karya seperti grafiti di
dinding gua menggunakan pewarna natural dari kekayaan alam. Makna karya umumnya
bercerita tentang proses bagaimana manusia masa lalu mempertahankan hidup. Dari
dunia musik, instrumen suara dari nenek moyang seperti kendang, rebana, biola,
gitar, dan kekayaan suara realitas alam yang diwariskan pulalah hingga sekarang
menjelma seni baru forma elektronik seperti
dentuman bebunyian sintiser dari seorang disc jokey sebuah klab malam atau coretan seni visual kontemporer
syarat suara sosial seperti seniman internasional Banksy, juga lokal seperti
Tembok Bomber.
Dalam konteks dunia musik kontemporer hasil budaya seperti musik
hadir tidak saja sebagai proses perkembangan kebudayaan manusia zaman lalu
terhadap alam dan ilahiah yang mengewantah dalam bentuk karya seni semata, ada
persimpangan antara pertimbangan nilai ekonomi, ideologis, pula pesan tersirat
dan tersurat. Akan tetapi proses untuk menghasilkan sebuah karya, terutama
musik dalam hal ini, tidak berbeda jauh. Hanya saja medium dan moda yang
digunakan lebih canggih untuk memaksimalkan hasil akhir. Jikalau dulu cukup berkumpul dan bersenandung
dalam sebuah upacara diiringi nyanyian dan bebunyian instrumentalia melodi,
kini musik hadir dalam skala besar seni pertunjukkan, baik benefit maupun
profit, dalam sebuah eskalasi mall dan stadium terbuka.
Kita tengok garis linimasa secara
singkat dalam sebuah proses seni rekaman mutakhir. Pada awalnya metode proses
karya para musisi dilakukan tidak sepraktis sekarang yang bisa mengandalkan proses
copy-paste dengan mengunakan
kecanggihan perangkat lunak khusus perekam audio dalam sebuah sesi rekaman
karya single atau album. Proses full live track pada jalinan proses rekaman
dalam dunia musik adalah moda yang paling dini dan tradisional.
Pada skema ini sebuah kelompok
musisi lengkap dengan seluruh anggota dan pemain instrumen berada dalam satu
ruangan penuh dan memainkan karyanya yang terlebih dahulu dipasangi mikrofon
dalam studio. Dari tangkapan audio yang mengalir via kabel mikrofon suara inilah
bitrase tangga nada ditangkap kemudian disimpan dalam memori pita sebelum
direproduksi ulang menjadi piringan hitam atau kaset untuk dinikmati khalayak
penggemar dunia musik. Tak mengherankan pada masa ini seorang musisi harus
melewatkan puluhan jam bahkan tahunan rekaman dalam sebuah studio dengan
perekam analog, prosesnya harus sekali shoot dan tidak ada perulangan atau
sekali kecele dari nada dan notasi awal harus diulang dari semula. Ini proses
yang harus dibayar untuk mencapai titik maksimal.
Lain proses mencipta karya, lain
pula proses menjual karya. Setelah proses awal selesai maka giliran produser
yang sudah siap sedia dengan para seniman untuk mengolah tampilan artistik,
para publisis yang telah sigap dengan narasi konten musisi untuk promosi media
dan pasar. Begitu juga dengan percetakan sebagai garda akhir yang mewujudkan
suara karya musisi tersebut dalam tampilan fisik. Setelah tahapan ini beres
maka para peritel dalam jejaring label perusahaan siap sedia mengedarkan karya
tersebut secara luas. Tapi ini moda lama. Begitu proses penyebaran karya
seorang musisi kepada khalayak dunia musik secara luas telah berubah.
Media penjualan dan pelayanan dunia musik berubah forma, yang
dahulu konvensional bersifat hanya fisik semata kini menjalar dengan melebarkan
sayap eknominya dengan penjualan konten layanan digital dalam bentuk media
baru. Benefitnya, sekali musisi dan label rekaman menjalin kerjasama dengan
perusahaan peritel semacam Apple iTunes atau ReverbNation maka dengan serentak
karya mereka dapat dinikmati oleh segmentasi pasar yang sudah melek produk
teknologi.
Meski kini penjualan produk karya
para musisi dalam bentuk piringan hitam juga kaset digantikan oleh bentuk
compact disk yang lebih minimalis dan ergonomis, hemat ruang dan fungsional serta
kak perlu khawatir akan kehadiran si cakram digital dengan kualitas rekam yang
tidak kalah sempurna maka layanan unduh konten digital bisa menjadi sinergis
dengan pola lama tersebut.
Tak ayal, meski perguliran moda
baru cara penjualan dalam dunia musik ini efektif hingga mendongrak 40% angka
penjualan digital seperti tahun 2006 tetapi masih mempunyai dampak pada moda
lama penjualan dalam era kini. Dalam sebuah laporan Reuters termutakhir,
menyatakan, bahwa penjualan compact disc dunia
musik di seluruh dunia turun hingga 10 persen pada tahun 2007 ketika penjualan
digital hadir. Salah satu sebab turunya angka penjualan ini karena maraknya peredaran pembajakan musik
yang telah diunduh dan disebarluaskan kembali.
Badan Pengawasan Industri Rekaman
Internasional (IFPI) bahkan sampai mengeluarkan pernyataan, “Menyerukan
provider pelayanan musik Internet (Internet Service Provider) agar lebih
bertanggungjawab terhadap penyebaran file musik ilegal dengan cara memutus
akses musik yang telah sering diupload atau mencegah terjadinya download musik
secara ilegal.”
Akan tetapi dilain sisi pihak ISP
selama ini merasa sungkan untuk mengambil tindakan tegas seperti tindakan
Presiden Prancis Nicolas Sarkozy yang memerintahkan pemblokiran akses online
untuk download musik atau film secara illegal ketika itu. Cara pemimpin
Perancis ini adalah salah satu kiat dukungan Negara Prancis menghargai bisnis
dan kebudayaan seperti yang pernah dinyatakan Ketua Eksekutif IFPI John
Kennedy.
Penjualan musik online global
mencapai 2,9 miliar dolar AS pada 2007 dan terus merangsek hingga kini,
setidaknya kenaikan 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan penjualan
musik dengan digital konten atau online tersebut dating tertinggi dari unduhan
single yang merupakan format musik digital yang paling populer atau terdapat
kenaikan 53 persen. Di negeri Paman Sam Amerika Serikat sendiri, penjualan
musik online maupun mobile mencapai 30 persen dari total pendapatan industri
rekaman tahun-tahun awal digital konten mulai meramaikan kancah industri dunia
musik tersebut.
Komentar
Posting Komentar