Global village itulah salah satu tesis klasik McLuhan tentang
kesalingterkaitan individu di masa mendatang dengan adanya konvergensi media.
Orang-orang di belahan bumi manapun akan dengan mudah berkomunikasi satu sama
lain tanpa perlu interaksi personal secara langsung sehingga terasa berada di
dalam satu wilayah rural pedesaan.
Berbicara konsep desa
dunia diatas dalam konteks sebuah ruang bisa kita tunjuk satu daerah di
nusantara. Wilayah yang menjadi persinggungan berbagai karakter suku, ras,
sosial, politik, budaya, dan lainnya. Bali nama daerah itu.
Meskipun dibanjiri turis
domestik dan (terlebih) mancanegara, wilayah yang terkenal karena keasrian alam
dan kaya budaya ini masih memegang teguh tradisi nenek moyang. Tak heran di
setiap jengkal kaki kita melangkah kita akan menjumpai hal seperti canang
(sesaji persembahan yang terdiri dari dedaunan yang umumnya hanya ada di Bali
sebagai persembahan rasa syukur kepada Yang Kuasa) dan kekayaan budaya berupa
produk seni hasil karya masyarakat sekitar.
Hal ini lah yang menarik
minat John Stanmeyer untuk menjelajahi wilayah yang kental aura budaya Hindu
yang berakar dari Hindu Hindia atau kepercayaan Budisme dan animisme yang berasal
dari Jawa Timur tersebut dan mengabadikannya dalam sebuah karya fotografi Island
of Spirits.
Reportase Stanmeyer
dengan seni melukis cahaya ini menangkap ritus yang dilakukan masyarakat
sekitar dari masa lampau yang diturunkan hingga kini sebagaimana mereka hidup
kini sampai masa depan. Karya ini menekankan unsur historisitas spiritual
kehidupan masyarakat bali dengan meleburkan kedalaman penangkapan citra yang
disaksikan, dimengerti dan dijelaskan oleh beberapa orang Bali secara penuh,
lalu dipraktekkan oleh ribuan lainnya.
Fotografer yang juga
tergabung dalam agensi foto internasinal VII Photo Agency ini melakukan partisipatory research yaitu
dengan terjun dan berinteraksi di lapangan selama lima tahun berada di Pulau
Dewata. Dengan mengamati beragam hal seperti pohon, kuil, gunung, bebatuan, air
suci bagi masyarakat bali dan semua persembahan tangan untuk sang leluhur yang
mendatangkan kebaikan dan keburukan.
Tidak saja sebagai
dokumentasi visual seni budaya, karya ini sangat unik karena, pertama,
menggunakan kamera popular yang biasanya digunakan sebagai ajang jeprat-jepret
biasa jauh dari hasil yang diperkirakan ketika menggunakan kamera pro pabrikan
seperti Nikon. Kedua, dengan adanya karya seperti ini seolah menyadarkan benih
kreatifitas untuk berkarya bagi siapapun tanpa harus menggunakan kamera Dslr
seperti Nikon atau kamera digital umumnya.
Memotret dengan holga
diibaratkan seperti memotret dengan kamera Nikon tipe legendaris yang full
manual seperti FM2, atau tipe generiknya FM10. Namun tentu saja banyak
perbedaan antara kamera jenis toy cam dengan kamera khusus fotografer
seperti Nikon FM 2 tersebut.
Kamera toy cam
jenis holga bersifat paralax artinya gambar yang dilihat belum tentu
hasilnya sama ketika kita melihatnya pertama kali. Terutama dari segi kualitas
warna. Berbeda juga dengan kamera pro Nikon seperti FM 2 yang jadul namun collectible
tersebut, lensa holga sama halnya dengan tipe poket atau compact camera,
lensanya built in dan tidak dapat diganti dengan range focus lainnya.
Tapi, cukup dengan biaya
relatif murah, siapapun dapat menghasilkan karya yang bisa didokumentasikan
dalam bentuk buku. Menggunakan kamera gaul sederhana seperti Holga bukan
berarti tidak bisa menghasilkan karya bermakna seperti Island of Spirit
Bali versi lensa holga Stanmeyer.
Karya fotografi yang
diambil lewat kamera popular anak muda jenis Holga tersebut dipamerkan pertama
kali dalam sebuah pameran fotografi berlokasi di VII Gallery, 28 Jay St.
Brooklyn New York, Amerika Serikat pada 16 September-29 Oktober 2010 waktu
dekat ini.
Tips memotret :
A. Pilih dan siapkan
tipe Body Kamera Anda sesuai selera, beragam merek banyak
tersedia. Kini banyak kamera tipe DSLR pabrikan produsen terpercaya seperti
Nikon, Canon, Sony Alpha ataupun yang lainnya melansir produk berkualitas
dengan harga ramah dompet.
B. Siapkan Tripod
atau Monopod yang berguna untuk menangkap gambar ketika pencahayaan
dilakukan dengan kurun waktu yang cukup lama. Alat ini cukup menunjang ketika
Anda akan melakukan hunting malam dengan pencahayaan natural yang rendah
atau objek bergerak cepat.
C. Pilih Ukuran Lensa
dan kualitas yang sesuai dengan range sesuai keinginan kita. Ketika pertama
kali memotret, terutama bagi pemula, memilih lensa tidak akan terasa bedanya
ketika menggunakan motor pertama kali. Tetapi semakin tinggi frekuensi memotret
maka akan semakin terasa kebutuhan apa yang diperlukan, untuk lensa kita bisa
memilih ukuran fixed, vario, tele, wide, atau fish eye.
D.
Pastikan Lensa tidak berjamur. Coating atau lapisan dalam lensa penerima
optik cahaya yang kotor akan mengurangi kualitas penerimaan hasil gambar yang
dipotret. Bersihkanlah pakai brush atau
dust remover.
E. Gunakan Filter
Kreatif Sebagai tambahan. Filter berguna untuk meningkatkan kualitas gambar
yang kita potret sesuai selera, efek cahaya bisa diredusir, efek langit bisa
diperindah, dan fungsi tambahan filter adalah sebagai pelindung lapisan lensa
terluar.
F. Tentukan Tema Subjek/Objek
foto Anda. Hal ini berguna untuk mengasah insting Anda apabia nantinya akan melakukan
spesialisasi fotografi secara mendalam. Sebagai jalan menuju kesana lakukanlah
dahulu bracketing atau pemotretan dengan berbagai hal yang Anda anggap
penting dahulu.
Komentar
Posting Komentar