Pemilihan
umum pada hakikatnya diselenggarakan oleh tiap bangsa sebagai proses
demokratisasi di wilayahnya itu sendiri. Dengan esensi Demos dan Kratos,
selayaknya, bahwa pemilu diselenggarakan atas dari keinginan rakyat untuk
mengubah taraf kehidupan ke arah yang lebih baik. Indonesia, dengan sistem
presidensil dan juga negara kepulauan yang mengatasnamakan dirinya sebagai
republik telah melaksanakan hajatan lima tahun sekali dengan berbagai dinamika
dan konteks tersendiri.
Diawal
pertama kali pemilu dilaksanakan, tujuan diadakannya pemilihan umum dilandaskan
pada beberapa asumsi. Pertama, sebagai negara yang baru merdeka dan berdaulat
atas dirinya sendiri, Indonesia, perlu membenahi urusan rumah tangganya di
berbagai lini kehidupan, terutama menyangkut Ipoleksosbudhamkamrata (Ilmu
pengetahuan, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahahanan dan Keamanan), dan dalam hal
ini pemilu merupakan prasayarat suatu bangsa untuk dikatakan sebagai suatu
negara yang berdaulat dan merdeka, yaitu memiliki pemerintahan yang berlaku.
Selanjutnya,
pemilu dilaksanakan selain sebagai formalitas pengakuan suatu bangsa dikatakan
negara, pemilu juga dilangsungkan guna mempertahankan eksistensi Indonesia itu
sendiri di mata internasional. Seperti kita ketahui, paska kemerdekaan, gerakan
politik para penjajah tidaklah berhenti pada kolonialisme fisik, tetapi secara
eksplisit dengan dilakukan lebih kepada diplomasi politik yang pada intinya
berusaha untuk menegakkan pemerintahannya berdaulat kembali di daerah koloni.
Maka tak ayal apabila pemilu pada waktu itu dikatakan sebagai
‘pesta-eksistensi’ negara, yang merupakan hajatan demokrasi bagi rakyat yang
baru mengklaim negaranya merdeka. Pemilu 1955 pun disambut euforia.
Elemen masyarakat dituntut berperan peran aktif.
Berbeda dengan pemilu diawal kemerdekaan, pemilu
dewasa ini dilaksanakan tidak hanya sebagai pemenuhan prasayat suatu negara
dengan pemerintahannya sendiri. Pemilu yang telah sekira dilaksanakan untuk
kesekian kali ini bermetamorfosis bersama proses yang melingkupinya. Berbagai
elemen masyarakat lebih berperan aktif ketimbang masa lalu yang cenderung hanya
digunakan untuk memilih pemimpin bangsa. Baik itu elit politik sebagai pelaku
yang berada pada level atas, Opinion Leader, pemerhati pemerintahan, LSM yang
concern pada dinamika politik bangsa, maupun rakyat itu sendiri sebagai grass
root dan penentu laju kemanakah demokrasi akan diarahkan. Elemen masyarakat
tersebut mempunyai peranan krusialnya masing–masing.
Opinion Leader atau pemuka pendapat adalah hal
yang akan kita bahas lebih lanjut. Tentunya dengan situasi dan kondisi
demokrasi Indonesia sekarang ini, apalagi berbicara mengenai pemilihan umum
(kepala daerah atau eksekutif) dengan peran serta Opinion Leader sebagai
komunikator politik, ada hal mendasar yang menjadi pertanyaan. Semisal, peran
apakah yang sebenarnya dilakukan seorang pemuka pendapat? Lalu, karateristik
pemuka pendapat seperti apakah yang bisa jadi panutan rakyat dalam hal
informasi politik dan atau masalah aktual lainnya?
Sebelumnya, mari kita telusuri terlebih dahulu
apakah sebenarnya yang dimaksud dengan pemuka pendapat atau istilah asingnya
opinion leader itu. Secara etimologis, opinion leader, berangkat dari dua kata
yaitu opinion dan leader. Opini, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu
pendapat ; pikiran ; atau pendirian. Tetapi dalam konteks politik, opini yang
dimaksud disini adalah opini yang munculnya dan atau berkembang dari persfektif
publik atau rakyat pada umumnya.
Sedangkan kata lainnya, leader, secara simplistis
diartikan sebagai seorang pemimpin atau pemuka. Jadi, apa dan siapakah pemuka
pendapat itu? Sebelumnya, ada tiga macam komunikator politik jikalau kita
berbicara dalam konteks politik (dengan aspek Pemilihan Umumnya). Yaitu
politikus, profesional, dan aktifis.
Dalam kategori masing–masing diatas, ada
komunikator politik yang melaksanakan tugas perwakilan dan persuasif. Yang menekankan tugas perwakilan diantara sumber dan
khalayak adalah wakil partai jurnalis, dan juru bicara yang menetapkan,
melukiskan, dan mengubah situasi dengan berbagai alasan, ada juga komunikator
yang mempersuasi (layaknya propagandis dengan good news-nya), misalnya,
perubahan titik pandang dalam situasi tertentu – Ideolog, promotor, tim
suksesi, dan pemuka pendapat yang dapat juga dikategorikan pada pihak
perwakilan.
Opinion
leader atau pemuka pendapat bisa berada di antaranya. Yang membedakan diantara
semuanya adalah cara berpikir, bertindak tentang politik adalah mereka dalam
proses opini. Singkatnya, orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itulah
disebut “pemuka pendapat”.
Proses
opini timbul dikarenakan ada korelasi antara kepercayaan, nilai, dan usul yang
dikemukakan oleh perseorangan di depan umum dengan kebijakan yang dibuat oleh
pejabat terpilih dalam mengatur perbuatan politik. Dari proses opini inilah
para pemuka pendapat dapat mengetahui sejauh mana opini yang berkembang di
khalayak luas - rakyat.
Ada
beberapa tahap dalam pencapaian proses opini. Pertama, Konstruksi Personal,
yaitu tahap dimana individu mengamati segala sesuatu, menginterpretasikannya,
dan menyusun makna objek–objek politik secara sendiri sendiri dan subjektif.
Kedua, Konstruksi Sosial, yaitu tahap menyatakan opini pribadi di depan umum.
Ada tiga bentuk pernyataan dari point dua ini. (1) Pemberian dan penerimaan
opini pribadi di dalam kelompok sosial yang menghasilkan opini kelompok.
Misalnya pernyataan Gusdur akan penolakan hasil pemilu 2004 hingga akhirnya
menimbulkan opini Golput di sebagian kalangan santri NU, dimana Gusdur seperti
yang kita ketahui merupakan opinion leader bagi warga NU. (2) Jika orang
mengungkapkan pandangannya bukan melalui kelompok terorganisasi melainkan
melalui kebebasan pribadi yang relatif di tempat pemberian suara maka pilihan
yang dibuat dalam keadaan tersendiri dan terpisah satu sama lain membentuk
opini massa. Hasyim Muzadi misalnya, di pemilihan lalu, ia mencalonkan diri
atas kehendak pribadi dalam mengungkapkan pandangan dan keinginannya sebagai calon
pemimpin Indonesia. Meskipun dengan berbagai resiko yang diterimanya. (3) Opini
Massa pada umumnya merupakan pandangan yang baur dan dan tak terorganisasi yang
sering disimbolkan sebagai budaya, konsensus, dan apa yang oleh politikus lazim
disebut “opini publik”.
Dan
Nimmo, penulis “Komunikasi Politik”, mengatakan bahwa Opini publik adalah :
“kumpulan pendapat orang mengenai hal ihwal yang mempengaruhi atau menarik
minat komunitas”;”cara singkat untuk melukiskan kepercayaan atau keyakinan yang
berlaku di masyarakat tertentu bahwa hukum –hukum tertentu bermanfaat”;”suatu
gejala dan proses kelompok”;” dan opini pribadi orang –orang yang dianggap
pemerintah dianggap bijaksana untuk diindahkan”.
Dan
yang terakhir dari proses opini, yaitu Konstruksi Politik, yaitu tahap yang
menghubungkan opini publik, opini rakyat, dan opini massa dengan kegiatan para
pejabat publik. Rakyat dalam Pemilihan Umum 2004 lalu dihadapkan pada pembuatan
keputusan yang bersifat politis (seperti memilih Cawapres/Wapres dari kubu mana.
SBY atau Mega?) meminta petunjuk dari orang yang dihormati mereka, apakah hal
tersebut dilakukan untuk memperkuat putusan yang telah ditetapkan atau
memperkuat putusan yang harus dibuat. Dalam keadaan seperti inilah idealnya
para pemuka pendapat yang netral diharapkan muncul untuk memberikan pencerahan.
Kenapa?
Pada
umumnya para komunikator politik, dalam hal ini seperti pemuka pendapat atau
opinion leader, selalu mendapat perhatian lebih apabila mereka berbicara dan
berbuat, dibanding dengan warga negara pada umumnya yang merupakan bagian
integral dari sistem sosial itu sendiri. Komunikator politik seperti seorang
pemuka pendapat, merupakan salah satu subjek krusial yang menduduki posisi yang
peka dalam jaringan sosial. Dalam pandangan masyarakat (pemilih), ia dianggap
orang yang dapat menanggapi berbagai tekanan dengan menolak dan memilih
informasi yang terjadi dalam suatu sistem sosial yang berlaku. Selain itu
konsistensi dan kontinuitas merupakan aspek penting lainnya yang menjadikan
pemuka pendapat adalah orang capable yang lebih sering di dengar pendapatnya.
Dua kalimat terakhir diatas dapat kita asumsikan sebagai salah satu jawaban
dari pertanyaan diawal paragraf tadi : mengapa pemuka pendapat mempunyai nilai
lebih ketimbang warga negara pada umumnya?
Dalam
pemilihan umum 2004 lalu, pada umumnya, mereka tampil dalam dua bidang.
Pertama, mereka (sangat) mempengaruhi keputusan orang lain; artinya, seperti
politikus ideologis dan promotor profesional, mereka meyakinkan orang lain
kepada cara berpikir mereka. Pemuka pendapat seperti ini lebih menonjolkan
aspek kesamaan frame ideologis dengan pilihannya (baik individu maupun
institusi). Semisal Goenawan Muhammad, seorang pemuka pendapat dan juga tokoh
di bidang pers Indonesia, meskipun mendukung salah satu partai pada pemilihan
yang lalu dikarenakan ada aspek kesamaan persepsi ideologis dengan calon
tersebut tetapi ia tetap menjaga koridor sebagai information source/opinion
leader bagi yang membutuhkannya.
Karakteristik
seorang pemuka seperti ini biasanya tidak terlalu mementingkan aspek materi
seperti promotor professional umumnya. Mereka cenderung untuk merealisasikan
ide, gagasan, dan pemikirannya tentang perubahan Indonesia ke depan (meski hal
ini perlu dipertanyakan lagi).
Maka
dapat dibayangkan ekses seperti apa yang akan timbul apabila seorang pemuka
pendapat ternyata adalah orang yang selama ini dedikasi dan kontribusinya
concern pada bidang tertentu. Pertanyaan dasar akan kembali mencuat : apakah
ada jaminan bahwa pemuka pendapat bisa meyakinkan publik dengan cara
berpikirnya, terlebih, jika dia berafiliasi dengan suatu lembaga politik?
Beda
dengan sebelumnya, kalau promotor profesional lebih mengutamakan aspek materi
daripada sebagai opinion leader yang sedikitnya memberikan pendidikan politik
kepada publik. Promotor profesional ini cocoknya muncul dari individu yang
mendapat tempat di masyarakat, seperti artis. Dengan popularitasnya, mereka
bisa mengiring massa sebagai jembatan penghubung dengan parpol peserta pemilu
tertentu. Tentunya dengan materi informasi yang pro terhadap kepentingan
partai. Maka personifikasi popular seperti Tukul akan sangat ampuh dalam
melancarkan propaganda politik jikalau melihat kecenderungan masyarakat yang
kian jenuh akan lip service tokoh-tokoh politik nasional. Artis sebagai aktor
promotor professional adalah figur persuatif yang tepat bagi leisure class
masyarakat Indonesia.
Selain
itu, yang kedua, pemuka pendapat disamping memberikan petunjuk ia juga
berfungsi ganda sebagai meneruskan informasi politik yang berkembang dari media
massa kepada masyarakat umum. Pemuka pendapat dengan karakteristik seperti ini
biasanya berpihak pada opini atau kehendak yang berkembang di kalangan
mayoritas. Dalam artian lain, komunikator politik seperti ini melaksanakan
tugas perwakilan, yang menekankan tugas perwakilan diantara sumber
(pelaku-pelaku politik –Capres/Cawapres Pemilu 2004) dan khalayak (para
pemilih), dengan tujuan yang lebih mencari jalan tengah atau rasionalisasi
solusi yang terbaik. Nurcholish Madjid, salah seorang cendikia muslim Indonesia
dapat dikategorikan sebagai pemuka pendapat yang dapat merepresentasikan opini
yang berkembang di mayoritas (rakyat), meskipun kiprah hidupnya tidak
dilibatkan penuh di perpolitikan nasional.
Lain
halnya dengan media massa. Dalam hal ini ia merupakan medium bagi para pemuka
pendapat untuk mengutarakan gagasannya mengenai suatu hal, seperti pemilu
misalnya. Pada awal pemilihan Capres/Cawapres dari partai Golkar, Surya Paloh,
seorang pemuka pendapat di kalangan media, memanfaatkan moment tersebut tidak
hanya bagi kepentingan pribadinya, tetapi gerbong kepentingan kelompok ikut
menyertainya di balik agitasi programnya.
Tak
heran, berbagai reaksi keras berdatangan dari berbagai pihak yang merasa
dirugikan, terutama dari kalangan yang menyoroti independensi pers sebagai
media massa. Pemuka pendapat seperti ini yang harus dihindari jikalau hanya
mementingkan keunggulan sektarian semata. Namun, yang lebih penting kekuasaan
seseorang yang sangat besar dalam media massa sebagai pemuka pendapat harus dimanfaatkan
untuk tujuan pemberdayaan pendidikan politik. To inform the goodness of
political will.
Oleh
karena itu tak tapat dipungkiri apabila peranan seorang pemuka pendapat atau
opinion leader sangatlah penting sekali, terlebih apabila ia merupakan bagian
dari tim suksesi pemenangan “pesta akbar” pemilu yang bertugas meyakinkan para
pemilih pada setiap kesempatan pemilihan. Tapi diantara semuanya, para pemilih
harus mencermati secara cermat konstruksi pemikiran seorang pemuka pendapat
dalam setiap pemilihan (baca : kepala daerah atau pemilihan Presiden/Wapres).
Kita,
rakyat sebagai representasi dari grass root secara tidak langsung dituntut
untuk lebih mawas terhadap berbagai bentuk kepentingan sesaat para elit.
Pembelajaran terhadap sejarah merupakan guru terbaik bagi kita, apakah masih
memilih para figur poros tengah, senda gurau Darso, atau Doel Sumbang sebagai
sandaran untuk merenung, berpikir, paham, dan bersikap dalam sebuah pemilihan
terdekat. “Geus paheut urang deukeutkeun, geus deukeut urang….”
Selamat
mengamati.
Komentar
Posting Komentar