Bayangkan jilakau kita hidup tanpa media di era
komunikasi global zaman sekarang. Mungkin bagi sebagian orang yang telah lama
hidup di sektor agraris, media bisa jadi hanya mendapat porsi seperlunya,
bahkan, tidak ada gunanya sama sekali karena paham mayoritas yang berguna bagi
mereka adalah kebutuhan fungsional yang dapat dinikmati secara langsung,
konkrit dengan seketika. Beda halnya bagi individu, lembaga atau suatu perkumpulan
kolektif lainnya yang hidup dan dibesarkan dalam percepatan kebudayaan urban
yang serba instan.
Media massa pada hakikatnya merupakan salah satu
wadah atau forum interaksi antara individu (terkadang anonim) satu dengan
individu yang lainnnya. Setiap media
tentunya memiliki karakteristik tersendiri. Entah itu media konvensional
seperti media cetak, maupun media elektronik audio dan visual seperti halnya
radio dan televisi. Masing-masing media seperti mempunyai karakter khusus yang
bisa dibedakan satu dengan yang lainnya.
Fenomena
yang sedang merebak dikalangan anak muda negara kita sekarang ini adalah
penggunaan media komunikasi massa baru semacam internet. Media baru tersebut
sebagian besar digunakan sebagai ajang mencari pertemanan, jodoh, bahkan sebagai
media pembentuk jati diri. Dalam hal ini, konsumsi atau penggunaan media
komunikasi tersebut hanya dinikmati sebatas nilai simbolik saja. Sebagai
pendongkrak prestise diri. Ekstrimnya, cyber medium dijadikan sebagai media
representasi identitas diri.
Dalam
perkembangannya, kehadiran media baru seperti media internet tersebut merupakan
salah satu bentuk apresiasi dan inovasi terhadap perkembangan media
konvensional sebelumnya yang dianggap masih belum dapat memenuhi kebutuhan
seseorang akan sifat immediacy akan informasi. Maka dalam dekade sekarang ini
lahirlah internet sebagai bentuk media baru dari komunikasi massa.
Sebuah
media yang mendapat julukan sebagai gender baru dalam perkembangan media,
cyber, memiliki berbagai keunggulan. Semisalnya, situs bernama myspace.com yang
dapat merepresentasikan interest individu dan kelompok akan suatu hal yaitu
musik. Oleh karena itu citra signifikan yang coba dimunculkan oleh host atau
owner dari situs yang berdomain myspace.com ini adalah proses interaksi komunikasi
global antara beragam individu di seluruh belahan dunia akan suatu ketertarikan
yang sama yaitu ketertarikan dunia musik. Contoh lain yang menarik dari
perkembangan komunikasi massa adalah keberadaan situs yang bernama
friendster.com. Tahun belakangan, keberadaan media pertemanan ini mendapat hati
di khalayak kawula muda Indonesia.
Apa
jadinya dunia ini jikalau Johannes Gutenberg (1400?-1468), seorang pionir
penemu mesin cetak dari Jerman tidak menemukan mesin cetak di abad lima belas
silam, apakah gerangan yang akan terjadi? Apakah perkembangan peradaban
manusia, termasuk komunikas massa, akan secepat layaknya sekarang ini?
Media, kepentingan politik
Dalam
mahzab ilmu komunikasi, media terbagi menjadi dua belahan kutub. Pertama, yaitu
media umum, media yang bersifat plural yang dimiliki oleh seluruh rakyat dengan
badan pengelolaaan sentralistik yang dipegang oleh pemerintah, sesuai pasal 33
UUD 1945. Yang kedua, media massa. Media massa secara harfiah yaitu sarana
komunikasi yang digunakan dengan tujuan objek berupa khalayak atau publik suatu
varian media, baik media massa elektronik maupun media massa cetak.
Dapat
dipastikan yang menjadi sasarannya adalah mereka yang mempunyai materi untuk
mengakses informasi yang diinginkannya. Maka melalui media lah individu,
lembaga, maupun kelompok kepentingan lainnya dapat berinteraksi dengan yang
lainnya.Perkembangan media massa dekade ini menunjukan peningkatan yang
signifikan dari segi kuantitas. Paska reformasi bergulir setelah Soeharto
lengser pada 28 Mei 1998, peningkatan jumlah media tak dapat dibendung lagi.
Hal ini didukung pula oleh legalitas yang dahulu dianggap mengekang,
diamandemen hingga akhirnya menghasilkan UU.No.40 Tahun 1999, yang isinya lebih
demokratis.
Media
mempunyai peranan krusial, terlebih sebagai media pembentuk opini disamping
tugasnya sebagai penyampai informasi dan watchdog of the government, umumya
sebagai control sosial. Media massa cetak dan elektronik mempunyai
karakteristik tersendiri dalam menjalankan peranannya. Lebih mudahnya, hal tersebut
dapat kita analisis melalui iklan yang terdapat pada masing–masing media. Pada
pemilihan RI-1 satu putaran kebelakang, para kontestan yang terdiri dari lima
pasang Capres-Cawapres berlomba guna mendapatkan simpati rakyat dengan berbagai
daya dan upaya.
Sekilas iklan media di pemilihan silam
Pasangan
Mega-Hasyim pada kesempatan pemilu 2004 lalu mendominasi pembelian iklan di
waktu prime time, tak ayal teguran pun berdatangan dari berbagai pemantau yang
peduli akan demokratisasi pemilu. Ada beberapa iklan yang ditawarkan oleh tim
sukses pasangan ini. Pertama, iklan yang mengetengahkan prahara kehidupan
negara Indonesia paska Soeharto lengser setelah tiga puluh dua tahun memimpin
negeri ini. Dalam iklan tersebut digambarkan, bahwa setelah pergantian pemerintahan
era Soeharto ke wakil mandataris MPR selanjutnya yaitu Habibie dan Gusdur,
bangsa ini mengalami keterpurukan multidimensi. Mulai dari kenaikan barang
pokok kebutuhan rakyat, konflik yang tak kunjung akhir, keamanan dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat dan persoalan bangsa lainnya yang
menjadikan semua itu ‘PR’ bagi Mega.
Disiratkan,
betapa susahnya mengatasi persoalan bangsa tersebut, sehingga untuk memulihkan
semua itu Mega memerlukan ‘kesempatan kedua’ guna menyelesaikan tugas yang baru
diembannya selama dia menjalankan roda pemerintahan. Ada yang menarik dari
fragmen iklan Mega ini, yaitu dominansi peristiwa konflik yang terus
dimunculkan. Seperti huru-hara peristiwa Semanggi dengan foreground para aparat
militer yang sedang berjibaku dengan demonstran yang tak berdaya dengan
kepungan aparat. Secara semiotik, hal tersebut bersifat polisemi, dapat
menimbulkan berbagai persepsi. Secara tendensius, hal tersebut dimunculkan
sehingga audience –khususnya para pemilih- menjadi phobia terhadap pemimpin
dengan latar belakang militer, karena sebelumnya, tiga puluh dua tahun
dicitrakan sebagai rezim otoriter dan militeristik. Apakah sipil lebih baik
ketimbang militer, karena pada awal iklan tersebut Mega menonjolkan
keberhasilan pemerintahannya di bidang mikro-makro ekonomi? Apakah iklan
tersebut merupakan black campaign mengingat beberapa rival Mega berlatar
belakang militer?
Pada
iklan selanjutnya pasangan Mega–Hasyim menawarkan program REKOMENDASI, yaitu
berupa program unggulan yang menjadi prioritas pasangan ini apabila terpilih
menjadi RI-1. Rekomendasi merupakan akronim dari Rencana Ekonomi Mega dan
Hasyim yang menitik beratkan pada pengembangan sektor riil ekonomi bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia. Secara eksplisit tersirat bahwa yang dibutuhkan
rakyat Indonesia sebenarnya bukan pada unggul tidaknya suatu program tetapi
lebih kepada, apakah, kesejateraan rakyat sudah terjamin oleh aparatus
penyelenggara negara? Sehingga Mega dipersepsi lebih peduli kepada kebutuhan
rakyat yang sebenarnya. Dan tentunya lebih populis.
Selanjutnya
mari kita tengok iklan pasangan Wiranto–Wahid. Pada salah satu iklannya tampak
Wiranto sedang menbacakan suatu mandat di depan majelis (mirip Supersemar),
yang intinya bahwa dia berhak mengambil alih tampuk pimpinan pemerintahan
jikalau situasi keamanan dan integritas bangsa Indonesia terancam. Iklan ini
menarik juga, berhubung, pertama, hal yang ditonjolkan dari commercial break
ini jelas–jelas dilakukan guna meraih simpatik rakyat Indonesia. Betapa tidak,
Wiranto yang sejak itu mempunyai kesempatan untuk melibas lawan politiknya
meraih kursi RI-1 dengan bijak menolak kesempatan emas didepan mata itu dan
menginginkan pemilihan lebih demokratis, sesuai koridor pancasila dan kaidah
tata hukum yang berlaku. Secara tidak langsung dalam iklan ini Wiranto mencoba
untuk berkomunikasi dengan rakyat, hal ini menyiratkan bahwa untuk memimpin
suatu negara harus didasari emosi ataukah rasio? Tetapi tampaknya Wiranto lebih
memilih pertimbangan rasional tentunya dengan beribu alasan, semisal, euphoria
reformasi yang masih mendambakan penyelamat bangsa dari kalangan non-militer.
Hal lain yang menarik dari iklan ini, selanjutnya, yaitu tampak pula dibelakang
iklan Wiranto-Wahid Capres populer rakyat masa ini, Susilo Bambang Yudoyono
atau yang akrab dengan panggilan SBY. Hal tersebut menyiratkan adanya suatu
hirarki dalam suatu status kepemimpinan, yang nampak dari bahasa iklan
tersebut, persepsi kita digiring bahwa SBY yang populer sekarang ini adalah
junior Wiranto. Tidak hanya bagi pemilih sipil, iklan ini dapat menjadi imbas
bagi kepentingan sektarian di kalangan pemilih militer.
Pasangan
lain dalam pemilu 2004 ini adalah pasangan Amien–Siswono. Pada salah satu
iklannya tim suksesi pemenangan RI-1 dari pasangan Amien–Siswono tersebut
menonjolkan keunggulan Amin dan Siwono dibanding dengan pasangan yang lainnya.
Amien Rais dalam deskripsi iklan tersebut ditonjolkan sebagai reperentasi
reformis yang selama ini dirindukan oleh mayoritas rakyat Indonesia paska
Soeharto, sedangkan Siswono dikonstruksi sebagai representasi dari wong cilik,
khususnya para petani yang merupakan mayoritas penduduk negara agraris
Indonesia. Dalam iklan tersebut disiratkan bahwa sebenarnya Amin dapat
menggunakan people power guna menduduki kursi eksekutif, namun dengan berbagai
pertimbangan dan mengingat kontrak politik dengan poros tengah maka akhirnya ia
harus menepis kesempatan itu dengan bijak. Berhubung ia sudah menjadi pimpinan
MPR. Yang menjadi pertanyaan justru, apakah, dengan menjadi ketua MPR ia dapat
dianggap oportunis dan dapat menjalankan mandatnya dengan lugas?
Selanjutnya
yang populer di 2004 yang kini menjadi pemegang tampuk kursi eksekutif,
pasangan militer-pengusaha, Susilo Bambang Yudoyono–Jusuf Kalla. Calon dari
partai ‘anak bawang’ Demokrat dan Golkar ini bersatu dalam kesamaan frame guna
mewujudkan Indonesia yang lebih maju, konon. Tak banyak yang ditonjolkan
pasangan populer ini dalam iklannya, mereka lebih menitikberatkan kepada
pemberdayaan manusia Indonesia seutuhnya melalui pembangunan bidang pendidikan
dan ekonomi dengan bersinergi berserta bidang–bidang kehidupan yang menyangkut
hajat hidup rakyat banyak. Pasangan ini lebih moderat dengan memandang bahwa
caracter assasination merupakan sifat kekanak-kanakan dan lebih mengedepankan
solusi.
Lain
halnya dengan pasangan bontot Hamzah–Agum. Dalam salah satu iklannya pasangan
nomor urut terakhir ini hanya berkoar dengan menitikberatkan penyelenggaraaan
kehidupan vital rakyat Indonesia dengan fasilitas gratis. Seperti
penyelenggaraan pendidikan gratis, penyelenggaraan ibadah haji gratis, dan hal
gratis lainnya yang cukup mengiurkan secara rasio.
Dari
sedikit uraian diatas mengenai Capres–Cawapres dalam iklan, ada beberapa hal
yang dapat yang dapat menjadi kajian bersama. Pertama, mengenai peranan media
massa dalam menyelenggarakan pendidikan politik bagi rakyat melalui informasi
berita lewat tayangan–tayangan yang disampaikannya. Kedua, mengenai pengaruh
iklan media massa dalam mempengaruhi kognisi para pemlih Capres–Cawapres
Indonesia. Iklan yang ditonjolkan oleh para kandidat ‘penguasa’ RI-1 itu
tentunya program yang mampu menarik empati dan simpati. Ketiga, power tends to
corrupt, absolute power corrupt absolutely, kalimat ini begitu popular sehingga
bagaimanakah korelasi antara kekuasaan dan media dalam pemberdayaan masyarakat
indonesia?
Dalam
ranah media semua pihak berusaha mendapatkan massa mengambang
sebanyak-banyaknya. Di ranah media dan kecenderungan gaya hidup postmodern
dengan beragam visualisasi citra masyarakat harus cerdas menelisik bahasa konotasi
iklan media yang terselubung itu. Pemodal (kandidat dalam pertarungan politik)
adalah pihak menampilkan yang terbaik, mana ada kecap nomor dua, bukan?
____
Ilustrasi Pixabay.
Komentar
Posting Komentar