Pada
akhirnya kisah dalam karya N.H Kleinbaum, 'Dead poet', ini berakhir tragis.
Tapi ada beberapa hal yang menjadi simpul hidup tentang sebuah realita yang
sebenarnya nyata dan benar-benar terjadi
di sekeliling kita.
Novel
yang diangkat berdasarkan film karya Tom Schulman ini menceritakan petualangan
tujuh anak belia dalam menjalankan perannya sebagai pelajar di sekolah yang
terkenal keras dengan empat prinsipnya ; Tradisi, Kehormatan, Disiplin, dan
kecerdasan. Sekolah itu bernama Welton.
Di
kisahkan. Kapel Akademi Welton, sekolah swasta yang tekurung di kaki-kaki bukit terpencil daerah Vermont
tersebut terdapat kepala sekolah berusia enampuluh tahunan, seorang tua Gale
Nolan. Dengan pengalaman dan tempaan hidup mengasah karakter tegasnya dalam
memimpin sekolah. Tidak ada basa-basi, dingin, kaku, dan cenderung
strukturalis.
Tetapi
ditengah tegaknya aura otorotarian dan monarki kapel tua itu, suasana kegiatan
belajar mereka berubah. Adalah John Keating, seorang guru pengganti pelajaran
bahasa inggris dengan pembawaan mengajar yang Eksentrik dan tidak pada umumnya,
membawa petualangan pencarian jati diri tujuh anak tersebut menjadi berwarna.
Sang guru flamboyan menantang mereka untuk "membuat
hidupmu menjadi lebih luar biasa!"
Mengenal
dunia imaji yang tak disadari merupakan keseharian kita. Membaca, mempelajari,
dan memaknai siratan kata Byron, Shelly, dan Keats di dalam sebuah kelompok
yang akhirnya menjadi bagian cerita hidup mereka. Dead Poet Society. Sebuah
kelompok yang juga pernah menjadi bagian hidup Keating. Kelompok rahasia yang
membebaskan dirinya dari tekanan dan harapan pihak sekolah juga para orang tua.
Dalam kelompok ini ia biarkan nalar,
gairah, dan hasrat liar tak terkekang.
Akan
tetapi semua tak semudah yang diharapkan, benturan keras sebuah sistem selalu
menemani petualangan intektual dan pencarian jati diri mereka. Diantaranya, Charlie
alias Numbawa akhirnya dikenakan sanksi Drop
Out karena berusaha mempertahankan identitas kelompoknya terjaga ketika
aktifitas mereka dinilai mayoritas
menimbulkan keresahan.
Begitu juga Neil
si cerdas, anak belasan tahun yang sedang mencari jatidirinya melalui jalan
dunia teatrikal dan drama. Akhirnya tidak berdaya ketika sang orang tua yang
ortodoks mendorongnya mewujudkan ambisi masa muda yang tak pernah mereka gapai.
Ia dihadapkan pada dogma untuk menjadi pelajar yang patuh akan nasihat dan
menjalani rutinitas sistem ajaran sekolah yang mapan akan tradisinya dengan
sewajarnya. Tak lebih dari itu.
Merasa potensi
tidak berkembang, Neil pun merasa tertekan, ia terkucilkan dari dunia yang
memberinya sebuah ruang eksistensi dan ketenangan batin. Akhirnya, hanya tangan
yang kemudian terkulai pucat dengan sebuah besi tak jauh dari kesepian kamar
dan keheningan malam yang akhirnya terpecahkan di raut hari menjelang pagi.
Neil, si anak muda itu memutuskan untuk mengakhiri semuanya, dengan pistol
ayahnya ia menyudahi segala keterkungkungan.
Lain
halnya dengan Cameron, ia pada akhirnya dicap sebagai sang penjilat dan
akhirnya harus terusir dari komunitas kecil itu karena di cap subversif, dengan
menyebarkan identitas Dead Poet kepada sang kepala sekolah, Nolan.
Tiga
contoh kecil dari petualangan tiga bocah diatas mengajak kita untuk mempertanyakan
kembali arti sebuah pendidikan. Secara naratif novel tersebut mengajak kita
berkontemplasi, apakah kita merupakan salah satu bagian dari peran yang ada
dalam novel yang penuh dengan semangat. Sebuah asa untuk meraih potensi sebagi
manusia seutuhnya. Terlepas dari cengkraman kapitalisme pendidikan yang semakin
menjadi komoditas kaku di era informasi desa globalnya McLuhan dan di tegah
dogma mayoritas.
Apakah yang
terjadi di keseharian masyarakat kita, dengan diri kita? Akankah tetap membisu
diterpa doktrin kemapanan yang mengharuskan kita selaras dengan alur sistem
itu, meskipun kontradiktif dengan keyakinan kita. Atau, mencari ruang
alternatif lainnya yang dapat menjadikan mahluk rasional ini merdeka menjadi
manusia, bukan menjadikan diri sebagai bagian dari mayoritas pragmatis.
Seize the day!
Carpe diem.
Komentar
Posting Komentar